Kamis, 25 Desember 2008

Baskoro (Unforgettable Name!)

Sering aku dan beberapa anak lainnya yang satu SD bercerita pada teman” sekelas tentang masa SD kami. Mulai dari aku dan Lia yang dimarahin sama guru IPA gara” ketawa gak berenti” abis dengerin Nezha ngoceh, sampe all about Baskoro. Wah wah, siapa lagi itu Baskoro? Ini dia ceritanya.

Baskoro adalah teman sekelasku ketika di kelas 6 SD. Hidupnya amat sengsara, karena dijauhi teman sekelas. Oke, awal cerita ini adalah ketika aku yang berasal dari kelas 5 B, kelas nggak unggulan, masuk ke kelas 6 B, kelas yang katanya unggulan. Di sana, aku bertemu dengan teman”ku di kelas 4 yang terpisah gara” masuk ke kelas yang berbeda denganku di kelas 5. Nah, teman”ku ini memberitahuku tentang Baskoro, cowok berkulit putih mayat, bermata sipit, bertubuh kurus dan bersuara ‘sroott’ menjijikkan setiap kali dia menghirup napas.

‘Tau gak seh, Il, dia itu pernah naro ingus di kertas en kertasnya dibiarin dalam keadaan ngebuka di atas meja! Agung yang geblek itu megang en nanya: Bas, ini apaan?, Baskoro langsung nyengir sambil bilang: Itu ingusku!’ kata salah Melia yang merupakan pimpinan Baskoro’s Hater. Aku yang nggak tau apa” cuman bergidik ngeri. Najis! pikirku jijik. Dan mulai detik itu aku membenci dan menjauhi Baskoro.

Aku berjalan dengan senyum lebar seperti biasanya dan menuju ke kelas 6 B. Tap. Seisi kelas menyambutku. ‘Hahaa… Selamat, Il!’ sambut Agung dengan mata bersinar menyebalkan. ‘Kenapa?’ tanyaku bingung. ‘Kemarin pas kamu nggak masuk, ada pembagian tempat duduk! Nah, kamu dapet tempat di samping Baskoro!’. Setelah denger kalimat itu, rasanya aku mau pingsan.

Guru kelasku yang bijak membuat aturan tempat duduk rolling. Jadi, aku hanya duduk sebangku dengan Baskoro selama satu hari, karena hari lainnya aku akan duduk dengan anak di seberangku. Sementara Baskoro bakal duduk dengan anak dua baris di depan kami: Nopi. Aku cukup bersyukur akan kebijakan guru kelasku. Dengan begitu, aku nggak akan lama duduk tersiksa dengan Baskoro (meski bagiku sehari sebangku dengannya cukup menyiksa!).

Jam pertama adalah pelajaran IPA. Aku sedang asyik mengerjakan tugas. Kelas sedang hening. Mungkin karena ini masih jam pertama kali ya. Di tengah keasyikanku itu, sebuah suara menggetarkan hati, sampai di telingaku. Shroott. Sebuah tarikan napas panjang yang diikuti dengan bunyi cairan kental yang terhirup. Hooek! Aku melirik Baskoro dengan wajah jutek plus jijik. Tampangnya puas banget! Aku makin merinding.

Satu hari yang panjang itu akhirnya selesai juga. Di hari itu juga Guru IPA kami telah membuat diriku bahagia. Dia marahin Baskoro! Hihihi. Aku tersenyum gembira, melihat tampang Baskoro pas dimarahi tadi (jahat banget ya…?).

Suatu hari, Baskoro diejekin sama Lia (sobatku yang judes ntu). Baskoro nggak terima. Dia ngelempar buku ke arah Lia sambil nangis. Berhubung Lia ada di sebelahku, dan lemparan Baskoro nggak terlalu keras, maka akulah yang kena lemparannya. Aku langsung ngamuk. Aku ejekin aja dia sekalian. ‘Heei, ada yang jualan cowok cengeng yaa…? Kok ada cowok yang nangis di sini?!’ teriakku lantang. Dan darah di ubun” Baskoro makin mendidih. Dia melempar bulpen ke arahku yang sedang berputar” sambil mengejek”nya. Bulpen itu tepat mengenaiku. Aku jadi ikut marah. ‘Heh, kamu itu cowok cengeng! Nggak bakalan ada cewek yang doyan sama kamu! Bahkan Risa juga nggak doyan sama cowok nangisan en bikin jijik kayak kamu!’ kataku berang. Baskoro yang naksir Risa, (Risa adalah teman paling sabar yang pernah kutemui di dunia. Dia adalah si pembela kebenaran. Selalu belain Baskoro dengan kalimat: Hei, jangan gitu ta!) menangis makin keras. Dia kalah!

Sehabis sholat di musholla, aku ke kelas. Kelas sudah sepi. Semua anak cowok udah pada pulang. Yang tertinggal hanya anak” cewek. Dan kemudian kutemukan tas, sepatu, kursi dan mejaku berantakan. Aku tau ini perbuatan siapa. Baskoro si cengeng. Aku marah. Si Nopi, asistenku yang setia, juga ikut marah. Dia ngebantu aku menyembunyikan kursi dan meja Baskoro. Esoknya, kulihat dia mencatat pelajaran sambil berdiri.

Ketika metode duduk rolling selesai, guru kelasku membuat metode baru. Kelasku dibagi jadi beberapa kelompok. Dan kursi” di kelas dibuat melingkar, membentuk enam kelompok. Tapi, tak ada kelompok yang mau menampung Baskoro. Jadi, Baskoro menyeret bangku dan kursinya di tengah kelas. Sendirian. Wah, mandiri sekali dia.

Musuh terbesar Baskoro adalah Melia, cewek pinter nggambar yang berjiwa cowok. Melia juga merupakan pembenci Baskoro. Apapun yang disentuh Baskoro, sebisa mungkin dihindarinya.

Suatu hari, Baskoro bertengkar sama Melia. Dibentur”kannya kepalanya ke meja. Tapi mungkin karena dia takut terluka, dia membenturkannya dengan pelan”. Hihi. Setelah puas membenturkan kepalanya dengan slow motion, dia menggesekkan mistar kayu papan tulis ke pergelangan tangannya dengan air mata yang nggak berhenti keluar. Melia yang melihatnya langsung menyodorkan cutter kepadanya sambil bilang: ‘Kalo mau bunuh diri pake ini aja, Bas! Biar cepet matinya!’. Mendengar kalimat itu, Baskoro makin keras menggesekkan mistar kayunya. Belum puas juga, dia menyobek buku catatan IPA-nya menjadi serpihan kecil”. Dan kemudian guru IPA-ku yang terkenal sentimentil pada Baskoro langsung memarahinya habis”an. Baskoro, dengan wajah menyesal, mencoba menyatukan kembali serpihan” kertas itu dengan… lagi” dengan air mata berlinangan!

Risa hanya bisa menatapnya iba sambil berbisik pelan, ‘astaghfirullah…’, sementara anak” sekelas menatap Baskoro dengan pandangan rasain-lu!

Kekejaman kami pada sosok Baskoro masih banyaaaakk sekali, yang nggak mungkin kubuat list-nya di sini. Dan akhirnya kebiadaban kami selesai di penghujung SD. Kami disadarkan oleh Pintu Hidayah-Nya. Akhirnya, berbondong”lah kami menemui Baskoro dan meminta maaf padanya dengan mata sembab penuh penyesalan (mungkin yang belum minta maaf ke dia cuman Melia!). Untunglah dia maafin kami, kalo nggak, nggak mungkin aku menceritakan kisah ini sambil ketawa” begini.


Yah, manusia tak luput dari dosa dan khilaf kan, Bas? Tapi gara” kekejaman kami dan penderitaanmu itu, ‘Baskoro’ jadi unforgettable name! Hihihihi.

Teman Yang Terlewatkan

Selama tiga tahun di SMP, hidupku selalu dipenuhi dengan wajah itu” saja. Murid kelasku memang nggak pernah berbeda. Gak tau deh, apa maksud guru” membiarkan kami satu kandang selama tiga tahun.

Tapi itu yang bikin kita semua makin kompak. Makin lama makin ngerti sifat luar dalem temen”ku. Waro, misalnya. Dulu, pertama kali kelas tujuh, dia dikenal suka ngambek ga jelas gitu. Pas hari pertama pelajaran ada pelajaran PPKn yang gurunya bernama Pak Imam (guru yang lumayan sableng, dan kalo ngomong pasti bikin ngakak lemes, meskipun yang diomongin jayus juga). Nah, si Waro ini kena ledekannya Pak Imam, gara” pas disuruh baca beberapa baris tulisan di buku PPKn suaranya ga keluar. Bahasa jahatnya ngomong dipek dewe alias nggremeng. Hihi. Tau ledekannya apa?
‘Siti Munawaro ya? Siti artinya lemah, Munawaro artinya got. Jadi kalo digabungin lemah (pasir ato tanah) yang ada di got.’ Hahaaii… Anak” langsung ketawa iblis. Si Waro? Nangis tanpa suara. Pernah juga, si Waro disindir” sampe nangis oleh si Nopi gara” Waro ngambek dan nggak ngebolo Dira dan Sari. Bener” cupu!

Nggak disangka, sekarang Waro yang ngambekan dan punya sifat anak SD banget itu, udah berubah. Kalo dulu dia disenggol dikit aja langsung teriak” marah, sekarang dia… ya tetep gitu. Hihi. Tapi teriak”nya diiringi ekspresi marah yang dibuat”. Waro yang cupu udah jadi Waro yang ‘kenal’ cowok dan hobi nongkrong di depan pintu kelas buat ngecengin anak SMA yang main basket di lapangan. Ckckck ^^. Waro juga jadi cewek tegas penegak keadilan dan kesejahteraan kelas. Dan itu dimanfaatin oleh guru kelas kami. Waro dijadiin bendahara kelas! Setiap kali ketemu dengan Waro, pesan yang dia lontarkan selalu sama: ‘Ilma, angan lupa besok bayar kas!’. Sebelum berangkat LDKS, anak” lain pada bilang ‘Ati-ati di jalan yaa…’, sementara Waro masih teguh pada kalimat handalnya: ‘Ilmaa… abis pulang LDKS bayar kas ya!’.

Haduh, aku langsung berpikir, kalo dipeseni kalimat kayak gitu mana mungkin perjalanan LDKS-ku bisa lancar?! Alhamdulillahnya, omongan Waro tidak berpengaruh sama sekali dengan kelancaran perjalananku. Meskipun setelah pulang dari LDKS dan papasan dengannya dia masih mengucapkan kalimat sakti itu, menggantikan kalimat sambutan ‘selamat datang kembali’. Huff.

Nah, balik lagi ke kelasku. Dulu, jumlah pertama kami adalah tiga puluh empat. Tapi kemudian setelah seminggu di kelas 7 E, muncul anak pindahan dari kelas 7 C dan 7 D: si Maulida dan si Yulia. Nah, setengah semester kemudian, muncul anak pindahan lagi: Rizal.

Di kelas 8, hari pertama masuk, tiba” ada anak kelas sebelah nyelonong masuk dan langsung duduk di salah satu bangku yang ada di kelas kami. Sekelas langsung pada heboh. Siapa nih anak…? pikir kita bingung. Yap, ini murid pindahan lagi: Farah.
Terakhir, anak pindahan dari kelas tetangga, 9 C: Arizka atau Titha atau Thaz (begitu ia tulis namanya di cover depan bindernya). Sementara kelas 9 C dan kelas 9 D juga dapet murid baru yang pindahan dari sekolah lain. Dan akhirnya jumlah kami adalah empat puluh kurang satu. Tiga puluh sembilan.

Lima anak pindahan kelas lain ini sekarang sudah menjadi warga kelas kami secara sah. Mereka sudah bercampur baur sama anak” lainnya. Punya banyak teman sehati tanpa susah payah.

Sementara, masih ada beberapa anak yang merupakan murid asli kelasku yang sampai sekarang masih belum bisa bercampur dengan yang lainnya. Terasing. Siapa aja mereka? Sebut saja mereka Hasir, Hanyuk, Fajar, dan Iin.

Hasir : Orang asal Jakarta dengan tingkah hiperaktif ala anak kecil yang kelakuannya itu disebelin temen sekelas. Sering nggak kerjain tugas, PR, dan catatan. Ulangannya juga lebih sering remidi daripada lolosnya. Hobi dipanggilin sama guru BP. Suka lupa nggak bawa buku pelajaran. Dan punya kebiasaan main lompat” meja dan kejar-kejaran.
Hanyuk : Cowok tinggi yang wajahnya buego banget (hihihi). Kalo ditanyain ‘Nyuk, bukumu mana?’, wajah begonya dimunculin dan dia langsung jawab: ‘ha?’ sambil garuk”. Aneh deh pokoknya.
Fajar : Kalo diibaratin, nih anak persis banget sama Pasar Malam yang bangkrut. Dulu rame, sekarang sunyi. Saking sunyinya, sering nggak nyadar dia masuk apa nggak. Dan kalo kebetulan ketemu dia, aku langsung tertegun dan spontan bilang: ‘Loh, kamu masuk?’.
Iin : Seorang cewek yang dulunya punya banyak temen. Mungkin gara” sifatnya itu kali ya, dia jadi dijauhin sama anak” lainnya. Katanya sih, selain som” alias sombong, dia juga diberitakan permintaannya selalu dikabulin ortunya. Ada yang pernah cerita ke aku gini: ‘Eh, tau gak, si Iin itu kalo sakit dikit, ayahnya pasti langsung nanya: Kamu pengen apa sih, In?, en Iin-nya langsung jawab: Aku pingin motor, yah. Dan motor langsung dibelin ma ortunya. Pas sakit lagi, ayahnya nanya lagi: Kamu mau apa sih, In?, en Iin-nya jawab: Aku pingin laptop, yah. Dan laptop langsung ada di tangannya.’ Aku langsung melongo. Ya ampun, kalo gitu enak banget si Iin, sakit pilek dikit dia langsung bisa ngomong ‘pingin beli rumah, yah’. Dan besoknya, sebuah rumah siap huni berdiri megah di samping kamarnya. Tuan puteri banget tuh.

Empat orang ini memang paling susah dapet temen. Yang Hanyuk sih udah lumayan. Dia dapet temen gara” selalu menang lawan adu ponco lawan anak” cowok di kelas. Si Fajar juga begitu, lumayan deket sama anak” lainnya gara” kerajinannya dan tampang culunnya (^^). Nah, yang tertinggal cuman dua orang: Hasir dan Iin.
Kalo aku pikir sih, mereka bener” kasian. Bikin aku iba. Tapi kalo liat mereka kayak gimana, jadi ilang iba-ku.
Dua orang ini memang cocok dijuluki ‘Yang Terlewatkan’. Kadang aku yakin akan pikiranku kalo mereka berdua nggak sekangen anak” lainnya akan kenangan di SMP. Aku benar” berpikir bagaimana caranya membuat persahabatan itu tergores di hati mereka. Membekas. Bukan hanya sebuah kata tanpa arti yang hanya omong kosong dari orang” sok tau.

Sekolah akan berakhir lima bulan dari sekarang. Cepat atau lambat, perpisahan akan segera menjelang. Aku tak mau menyia-nyiakan waktu yang sedikit itu. Aku nggak mau esok masih melihat Iin duduk di pojok tanpa kata, tanpa teman. Aku nggak mau esok masih melihat Hasir yang terlupakan, menyingkir dari tawa anak” lainnya.

Aku ingin semua hidup bersama. Bergandengan. Bukan individual. Apa perlu diciptakan rantai yang mengikat semua orang agar mereka semua tetap berjalan bersama, tanpa meninggalkan yang lainnya? Kuharap pula, Hasir, Iin dan teman” terlewatkan lainnya berlari menyusul kami, agar tak tertinggal di belakang, dan bisa mendapat tempat untuk bergandeng bersama…

Agar kata persahabatan yang dirasakan teman” lainnya juga dirasakan oleh mereka. Kuharap, itu semua terjadi. Bukan mimpi.



Bersama, tentu lebih indah