Sabtu, 18 April 2009

The Next Story of Bokap-Nyokap!

Ortuku ini tergolong ortu yang ane-ane. Honestly, perbedaan mereka bner" mencolok. Ayahku ni orangnya bersihan, nggak suka ngelihat satu pun barang yg tampak mengganggu mata--ada sepercik sifat Ayah ini yg dia turunin ke aku looh. Sementara Ibuku, beda jauh. Tinggal di kawasan pesantren--yg scara nggak langsung mengajarinya u/ tak peduli pada kebersihan, membuatnya kemproh abis. Masa yah, tiap abis cuci piring, Ibuku mesti malah bikin sampah sisa" makanan yg ada di piring kotor jd kececeran di lantei. Ckckckck.

Ibuku, orangnya lebih ke religiusnya. Gitulah, pokoknya apa-apa harus ada hubungannya sama agama. Plis deh. Nah, kalo Bokap, beda lagi. Dia tuh lebih bijaksana. Dia bisa nyeimbangin sisi religi sama sisi sosialnya. Jadi, nggak terlalu ngekang gitu. Te O Pe dah.

Ibuku, orangnya kadang gampang dibelokin pendapatnya, tp kadang juga kukuh. Kalo misal dia lagi marah sama aku, pendiriannya kuat banget. Nah, tapi kalo misalnya adu debat aku yg mulai duluan, pasti Ibuku takluk. Hahaha.
Beda lagi sama Bokap. Dia tuh lebih ke 'as u wish' ato terserah deh. Pokoknya itu baik buat anak"nya.

Ibuku, orangnya setengah tuli. *astahfirullah, Ilma!* Lho, iya kok. Masa ni yah, tadi aku ngomong" gitu sm dia.
Ibu : Besok" Ibuk sama Ayah mau ke Blitar.
Tita : Ikuttt
Aku : Ngapain?
Ibu : Mesra"an sama Ayah.
Aku : Mesra"an? Di makam bung karno ?
Ibu : *diem sejenak* hah? Rano Karno?
Aya : *mendelik* Ma, kan udah tak bilangin, periksa ke dokter THT sana lo!!

oalah.

Bokap, gampang banget sakitnya. Bertelanjang dada dikit, pasti lgsg panas-dingin. Gejala orang udah tua gitu de. Kalo Ayah udah sakit gitu, seisi rumah pasti ngebaik-baikin dia. Siap jadi pengabdi orang tua yg paling setiaa ... Hehehe.


Okeh, cukup. Ntu aja. Besok" lagi aku posting. Insya Allah abisnya Unas. Tapi.... doain dulu ya, biar aku bisa lulus dg nilai yg aku impikaann .. aminn !!

See U later

Selasa, 07 April 2009

Puisi tanpa henti

Bunga yang rapuh, seperti itu perasaanku kini
entah, mungkin hati ini telah tertambat
seperti seonggok kapal yang singgah di pulau tak berpenghuni
Sepertinya, bintang kembali redup
benang merah telah terputus
dan aku, kembali sendiri
ditemani simfoni malam yang menyayat

Kenapa ‘rasa’ itu slalu buatku merasa tak berarti?
buatku seolah menjelma menjadi bunga yang tak pernah mekar
lebah yang kutunggu, takkan pernah menghinggapiku
dan rasa kecewapun membebaniku
Aku terus mendayung perahuku,
tapi toh dayung yang kupegang slalu tersangkut
dan lalu, aku tenggelam
Mimpi itu akan slalu jadi mimpi
takkan menjadi nyataku
karena kuncup yang layu, akan slalu layu

Lihat, bunga-bunga tlah tunjukkan warnanya
kelopak demi kelopak mekar, menunjukkan keagungan corak mereka
setetes embun jatuh
seolah tahu tangis yang meliputi batinku
Bunga tanpa mahkota, tanpa rona
kuncup dan layu, tak pernah berhasil menunjukkan keindahannya
adakah cara untuk membuka kelopak bunga yang ditakdirkan
selamanya menjadi kuncup?

Kesunyian selalu hantui batinku
di balik semua canda dan ceria, tersimpan rasa kecewa
yang terselubung di balik celah-celah kebahagiaan
ku ingin berteriak lantang :
dimana mentari yang seharusnya datang menjemputku?
Kutahu jawabannya
naif, diri Ini terlalu munafik
tak mau menerima kenyataan yang ada
Hujan selalu kurindu,
untuk kembali bertemu dengan sang penguasa cahaya
meski mentari datang bukan tuk menjemputku
dan, kembali aku menaifkan diri
Aku tak yakin padamu…

Adakah yang membuatku bisa raih mimpiku?
kan kukepakkan sayap ini,
mengangkasa melewati langt biru bernaung awan tipis
aku ingin lepas,
dari semua rasa kecewa yang selalu hinggapiku
ku ingin bisa lepaskan tawaku tuk mencoba berpaling
berpaling dari raut yang menyiksaku

Kembali bayang itu datang
seolah terus menjagaku
walau lengan itu tak menyentuh...
tak kasihan...